Entah aku tak mengingat apa yang terjadi.
Ya, ini, saat di mana api jiwaku kembali di pantik untuk memenuhi
serangkaian seremoni karangan manusia yang tersusun rapih dengan tujuan
kebajikan.
Perasaanku seperti aku telah mengenal mereka jauh sebelum sang waktu mengumandangkan hari ini.
Tibalah saatnya seremoni itu di mulai, dengan segenap keseriusan
batin yang mampu aku tafsirkan dengan membaca air muka tiap jiwa yang
datang.
Sejurus pandanganku pun buyar kala memandang satu insan yang di
lindungi dahan rindang dari pohon yang di atasnya bernaung Venus
memberikan beberapa percikan air pesona secara anggunnya.
Layaknya mata air yang memancar secara tiba-tiba dari celah pasir
di tengah Sahara, engkau membuat sang musafir sontak tertegun,
terperangah.
Engkau mampu memaksa semesta menunjukkan kegemulaiannya di depan
pelupuk mata jiwaku yang kala itu masih tak bosan memandang dari
kejauhan semacam cahaya yang tak sembarang orang bisa melihatnya.
Cahaya yang memancar dari seorang dengan mahkota kemuliaan yang di
letakkan di atas kepala sebagai pelengkap simbol keniscayaan dan
menjadi penyelaras antara melodi jiwamu yang saat itu memainkan
nada-nada kehidupan di alam pendengaran batiniah jiwaku.
Aku biarkan sang waktu terus bermain hingga aku lelah memandangmu, biar…biarkan aku seperti ini.
Aku layaknya rerumputan yang merasa heran dan bahagia kala berjumpa
dengan musim semi setelah sekian lama terkekang prahara musim dingin
yang mencekik.
Biarkan aku menyamakan tempo alunan nada seruling hatimu dengan
harmonika kebebasan yang lama ku simpan, dan entah ku persiapakan untuk
siapa.
Hey, engkaukah wadah yang mampu menampung aliran perasaanku yang tengah menggenang hampir surut di muara keputus asaan ?
Setelah seremoni itu berlangsung,sang takdir menyetujui jiwa kami bercengkrama, saling mengenal satu sama lain.
Dan semakin akrab seperti dua sahabat yang lama terpisah.
Dengan mengikuti aliran pembicaraanku dengan dia yang entah kemana arah dan tujuannya.
Aku di paksa memasuki dunia yang indah namun aku tak mengenalinya.
Di sini bersama dengannya seolah aku menemukan apa yang selama ini aku cari
Dan detik ini, apa yang selama ini menjadi kisah antara aku dan jiwanya untuk pertama kalinya tak terulang.
Apa ini akhir dari cerita yang alurnya masih samar-samar ?
Apakah ini akhir dari puisi ironi yang rimanya masih menunjukkan kebimbangan ?
Apa memang di sinilah tempat peristirahatan, meskipun aku belum mencapai ujung dermaganya ?
Setelah lama aku bersimpuh di dalam penantian, terdengar suara gema
yang di sampaikan melalui gumpalan awan yang menitikkan air guna
menghidupkan bumi setelah matinya.
Gema yang mampu menggetarkan nadi si Lemah karena sekian lama terdiam di ujung lorong ketiadaan.
Engkaukah yang dahulu menjalani waktu denganku, hingga mebuat
ladang jiwaku kembali subur dan penuh dengan tanaman kasih sayang ?
Kemudian engkau pergi mencabut paksa apa yang selama ini aku jaga ?
Wahai jiwa, apa tujuanmu datang kembali ?
Tidak.. tidak, tak untuk kedua kalinya aku kehilangan hal yang sama dari engkau.
Jika benar tujuanmu, kemarilah dekaplah jiwaku yang lusuh, basuhlah
luka yang tersirat dalam tangisan yang hanya dengan ketulusan orang
bisa mendengarnya.
Bantulah kaki yang menopang ketegaran menyatu dalam simphoni
kedamaian, di mana semesta meluapkan berkahnya bagi aku dan dirimu yang
menyatu karena cinta di singgasana suci sambil mendendangkan
puji-pujian kepada Yang Maha Adil.
by : Aida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar