Jumat, 05 Oktober 2012

Engkau ?

Entah aku tak mengingat apa yang terjadi.
Ya, ini, saat di mana api jiwaku kembali di pantik untuk memenuhi serangkaian seremoni karangan manusia yang tersusun rapih dengan tujuan kebajikan.
Perasaanku seperti aku telah mengenal mereka jauh sebelum sang waktu mengumandangkan hari ini.
Tibalah saatnya seremoni itu di mulai, dengan segenap keseriusan batin yang mampu aku tafsirkan dengan membaca air muka tiap jiwa yang datang.
Sejurus pandanganku pun buyar kala memandang satu insan yang di lindungi dahan rindang dari pohon yang di atasnya bernaung Venus memberikan beberapa percikan air pesona secara anggunnya.
Layaknya mata air yang memancar secara tiba-tiba dari celah pasir di tengah Sahara, engkau membuat sang musafir sontak tertegun, terperangah.
Engkau mampu memaksa semesta menunjukkan kegemulaiannya di depan pelupuk mata jiwaku yang kala itu masih tak bosan memandang dari kejauhan semacam cahaya yang tak sembarang orang bisa melihatnya.
Cahaya yang memancar dari seorang dengan mahkota kemuliaan yang di letakkan di atas kepala sebagai pelengkap simbol keniscayaan dan menjadi penyelaras antara melodi jiwamu yang saat itu memainkan nada-nada kehidupan di alam pendengaran batiniah jiwaku.
Aku biarkan sang waktu terus bermain hingga aku lelah memandangmu, biar…biarkan aku seperti ini.
Aku layaknya rerumputan yang merasa heran dan bahagia kala berjumpa dengan musim semi setelah sekian lama terkekang prahara musim dingin yang mencekik.
Biarkan aku menyamakan tempo alunan nada seruling hatimu dengan harmonika kebebasan yang lama ku simpan, dan entah ku persiapakan untuk siapa.
Hey, engkaukah wadah yang mampu menampung aliran perasaanku yang tengah menggenang hampir surut di muara keputus asaan ?
Setelah seremoni itu berlangsung,sang takdir menyetujui jiwa kami bercengkrama, saling mengenal satu sama lain.
Dan semakin akrab seperti dua sahabat yang lama terpisah.
Dengan mengikuti aliran pembicaraanku dengan dia yang entah kemana arah dan tujuannya.
Aku di paksa memasuki dunia yang indah namun aku tak mengenalinya.
Di sini bersama dengannya seolah aku menemukan apa yang selama ini aku cari
Dan detik ini, apa yang selama ini menjadi kisah antara aku dan jiwanya untuk pertama kalinya tak terulang.
Apa ini akhir dari cerita yang alurnya masih samar-samar ?
Apakah ini akhir dari puisi ironi yang rimanya masih menunjukkan kebimbangan ?
Apa memang di sinilah tempat peristirahatan, meskipun aku belum mencapai ujung dermaganya ?
Setelah lama aku bersimpuh di dalam penantian, terdengar suara gema yang di sampaikan melalui gumpalan awan yang menitikkan air guna menghidupkan bumi setelah matinya.
Gema yang mampu menggetarkan nadi si Lemah karena sekian lama terdiam di ujung lorong ketiadaan.
Engkaukah yang dahulu menjalani waktu denganku, hingga mebuat ladang jiwaku kembali subur dan penuh dengan tanaman kasih sayang ?
Kemudian engkau pergi mencabut paksa apa yang selama ini aku jaga ?
Wahai jiwa, apa tujuanmu datang kembali ?
Tidak.. tidak, tak untuk kedua kalinya aku kehilangan hal yang sama dari engkau.
Jika benar tujuanmu, kemarilah dekaplah jiwaku yang lusuh, basuhlah luka yang tersirat dalam tangisan yang hanya dengan ketulusan orang bisa mendengarnya.
Bantulah kaki yang menopang ketegaran menyatu dalam simphoni kedamaian, di mana semesta meluapkan berkahnya bagi aku dan dirimu yang menyatu karena cinta di singgasana suci sambil mendendangkan puji-pujian kepada Yang Maha Adil.


by : Aida